Bersyukur hari ini masih dikasih
kesempatan sama Allah untuk hidup. Bisa bernapas, bisa menunaikan shalat,
sampai masih bisa bertemu keluarga itu yang patut kita syukuri setiap hari. Semakin
hari umur kita semakin berkurang. Umur saya 22 tahun, menjelang 23 tahun di
bulan Mei ini. Tentu banyak harapan yang ingin dicapai. Dua diantaranya yaitu
kerja dan menikah.
Pemilih. Sebenarnya kerja bisa
dimana saja, tapi ya balik lagi ke individu masing-masing. Dalam pikiran saya
sih sering mikir macem gini,
“mau jadi apa sih
gue?”
“dalam jangka waktu
berapa lama nih jenjang karir gue harus naik”
Saya ingin sekali sekarang bekerja.
Sudah pernah bekerja juga di salah satu bank swasta. Ada hal yang menyebabkan
saya resign pada akhirnya dan saya
berpikir sesuatu akan hal itu. Maka dari itu saya memutuskan untuk lebih
selektif dalam mengambil pekerjaan.
Tidak hanya saya saja yang
pemilih. Sifat “pemilih” diturunkan oleh ayah. Ayah termasuk orang yang sangat
pemilih. Ayah sering bercerita kepada saya, kenapa ayah cukup lama untuk menikah,
ya alasannya karena ayah memilih pasangan yang baik dan beberapa sudut pandang
yang menurut ayah “cocok dijadikan pendamping hidup”.
Tidak hanya dalam pekerjaan. Dalam
mencari pasangan menurut saya harus sifat “pemilih”. Kenapa kita harus pemilih
juga? Baik bekerja dan menikah dilakukan untuk masa depan. Masa depan
membicarakan hal jangka panjang. Tidak hanya berbulan bulan, 1 tahun 3 tahun
tapi bertahun-tahun. Biasanya di perusahaan masa bekerja kita maksimal selama
25 tahun. Untuk menikah? Insyallah sampai hayat memisahkan.
Riskan sekali jika kita kadang
terlalu pemilih. Ada pepatah yang mengatakan, terimalah kekurangan pasanganmu
atau terimalah apa yang ada di depan matamu. Ya memang namun apa salahnya kita
menunggu “sebentar” untuk mendapatkan yang terbaik. Saya selalu berpikir, saya
lama mendapat pekerjaan. Tapi saya hubungkan lagi dengan masa-masa saat saya
sudah bekerja di waktu itu di bank, ada beberapa keluhan dalam diri saya. Saya belajar,
jika saya mengambil pekerjaan yang sama dengan yang lama, kejadian seperti ini
akan terulang kembali. Saya berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih baik,
yang sesuai dengan passion saya.
Sama seperti bekerja, pasangan
juga diwajibkan untuk memilih. Setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih. Saya
juga sama. Saya berpikir kepada teman-teman saya yang sudah menikah hidupnya “enak”.
Kemana-mana berdua dengan suami yang sudah halal, kehidupannya juga seru gitu. Kadang
pengen sih saya seperti itu. Rumah jadi lebih rame, ada anggota keluarga baru
yang bisa menambah seru juga. Dalam “kacamata” saya juga seperti tidak ada
beban. Apalagi yang sudah hamil, bahkan sudah memiliki anak.
Tapi namanya juga hidup, tidak
melulu sesuai dengan rencana kita, kita sebagai manusia hanya bisa berencana,
namun perencana yang baik dan segalanya hanya milik yang Kuasa. Saya mengerti
betul rasanya sudah berharap akan “serius” dengan seseorang namun terhalang
oleh restu orangtua. Kami pun akhirnya putus. Dalam jangka waktu yang tidak
sebentar, kebiasaan yang tadinya berdua dengan pacar pun harus dijalani
sendiri. Dari situlah say a berpikir realistis.
MENIKAH TIDAK HANYA
MENYATUKAN SAYA DAN KAMU, TAPI KELUARGA KITA BERDUA.
Semenjak dari kejadian itu, saya
jadi agak malas untuk berhubungan yang mengarah untuk “pacaran”. Takut sia-sia,
sama seperti kejadian saya dahulu dan untuk pribadi saya, itu juga dosa. Saya yang
tau porsi dosa saya, jadi kalau saya sekarang lebih berpikir untuk menghindari
dosa juga itu hak saya. Kalau memang ada laki-laki yang menyukai saya dan mau “tanggungjawab”
dengan saya dan keluarga saya, ya datang
saja ke rumah. Memang sih gak begitu tiba-tiba datang. Kita juga harus lebih
berusaha, berdoa juga dan berikhtiar.
Waktu itu ada cerita lucu pada
saat saya ke acara jobfair Universitas
Indonesia. Kebetulan saya waktu itu sendiri kesana untuk mencoba melamar kerja.
Saya yakin rejeki sudah ada yang mengatur. Saya tidak berpikir aneh-aneh. Datanglah
saya kesana. Sesampainya saya di UI, antrian sudah mengular panjang untuk
sampai ke pintu masuk. Saya pasrah kan untuk mengantri, tidak lama ada panitia
yang memberitahu untuk registrasi bisa dilakukan di handphone. Saya pun masih bingung dengan alamat websitenya, tidak
sengaja saya menepuk tas belakang seorang laki-laki untuk bertanya. Dia menoleh.
Setelah bertanya soal registrasi, dia mengulurkan tangannya kepada saya untuk
berkenalan. Kami pun berkenalan. Sampai pada akhirnya laki-laki itu minta nomor
whatsapp saya. inti dari ceritanya,
dia tiba-tiba mengajak saya untuk jalan, sekedar nonton film atau minum kopi
katanya agar lebih bisa DEKAT DENGAN SAYA. Saya pun kaget. Saya baru pertama
kali bertemu tapi responnya terlalu cepat waktu itu. Dia juga menanyakan kepad
saya soal kriteria calon suami seperti apayang saya inginkan dan dia mengatakan
hal ini,
“gue liat lo pertama kali seneng. Lo orang yang ceria, murah senyum,
baik, cewe yang kuat malah. Masa dari ui langsung ke Bandung gitu. Boleh dong
ya gue jadi calon suami lo hahahaha”
Kaget ya. Pacar saya dulu aja gak
ada omongan buat seserius ini, tapi orang lain dengan mudah berbicara seperti
ini. Memang sih keliatannya becanda, tapi dia akhirnya serius karena memang
sudah tidak mau lagi pacaran, ingin menikah juga dan kalau dilihat dari umur
sih sudah cukup untuk umur menikah. Saya dan dia terpaut umur 3 tahun. Dia sekarang
umur 25 tahun.
Keputusan sih ada di ayah. Kebetulan
saat saya cerita kepada ayah, ayah menanggapinya dengan santai.
“nanti dulu teh, berteman baik dengan orang gak apa-apa, tapi kalau
buat menikah kan banyak pertimbangan. Kalau dilihat dari orangnya sih baik,
tanggungjawab, dewasa lagi. Tapi ya sayang....”
Saya sembari memperlihatkan foto
laki-laki itu di instagram. Ada hal
yang menjadi pertimbangan ayah untuk memilih calon suami untuk saya. Saya tidak
bisa sebut disini. Teman dekat saya dan mantan pacar saya juga tau. Kalau bisa
diusahain bisa memenuhi syarat itu ayah bersyukur. Tapi kalau tidak ayah juga
tidak memaksa, gimana nanti lah ke depan kata ayah menambahkan.
Saya berpikir dan melakukan ini
karena ayah. Orangtua saya hanya tinggal ayah. Keputusan ada di ayah juga
disamping dari diri saya sendiri, tapi ayah selalu bilang menikah itu mudah
tapi menjalaninya yang sulit, apalagi kalau kita gak pilih-pilih. Kalau nanti
rumah tangganya kacau karena hal tertentu gimana? Atau baru keliatan “sifat
jeleknya” gimana? Apalagi kalau sudah memiliki anak, berat rasanya hari-hari
dijalani jika banyak masalah seperti itu.
Saya selalu bersyukur kalau ayah
masih ada dan selalu saya ceritakan soal hal macam ini. Beliau juga tau anaknya
mau calon yang seperti apa dan bisa dalam pengambilan keputusan juga. Saya
yakin, kalau suatu saat nanti ayah setuju dengan seorang laki-laki, pasti itu
adalah laki-laki yang terbaik. Restu dari ayah, pasti Allah juga merestui
kelak, insyallah ke depannya juga laki-laki itu bisa menjadi imam yang baik ke
depannya untuk keluarga saya yang sakinah, mawwadah, dan warahmah aammiinn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar