Rabu, 28 Maret 2012

Tak mudah melepaskannya

Tak mudah melepaskannya


Raka mempercepat langkahnya menuju tempat les. Menaiki anak tangga yang cukup banyak membuat remaja berkulit hitam manis ini lelah. Sesampainya di depan pintu kelas, ia berhenti sejenak melirik ke jendela. Di dapatinya pengajar yang juga sama melirik ia di jendela. Anak-anak pun tertawa melihat tingkahnya itu. Ia salam pada pengajar dan mengincar tempat duduk sebelah Joshua.
“Kenapa gak masuk jam kedua? Tanggung loh, Rak.” Bisik Qila yang duduk di belakang Raka.
Raka terdiam, ia menarik napas panjang beberapa kali dan tak kunjung menjawab pertanyaan Qila.
Jam menunjukan pukul 17.30 waktu istirahat tiba! Biasanya waktu ini dipakai untuk mengobrol di kelas. Tapi tak jarang juga anak lelaki sering keluar kelas untuk menghirup udara di depan tempat les.
Qila menatap Raka dari belakang, menunggu waktu yang tepat untuk bisa mengobrol dengan Raka. Saat Reni dan Tami bermaksud ke bawah, Qila mencari alasan agar ia tetap ada di kelas, bersama Raka. Qila mengawali pembicaraan,
“Rak, masih marah yang kemarin ya?” Tanya gadis itu.
“Apa? Gue gak marah sama lo. Maaf ya soal sms semalem itu.” Jawab Raka seperlunya.
“Kalau boleh tau, kenapa sih janji yang kuliah itu dibatalin? Lo udah gak suka lagi sama gue ya?”
Raka sempat menatap wajah Qila yang berubah sedih. Lalu ia pergi meninggalkannya sendiri di ruang kelas.
Qila turun menyusul Reni dan Tami. Matanya mulai berkaca, ingin sekali ia bercerita soal kejadian semalam pada sahabatnya tapi ia takut.
“Mau cerita.” Qila memberanikan diri berbicara pada kedua sahabatnya itu.
Ingin mendengar Qila bercerita, Reni dan Tami ke tempat makan favorite yang letaknya tak jauh dari tempat les.
“Raka ngebatalin janji kuliah.”
“Kok bisa?” Tanya Reni penasaran.
Lelaki yang duduk di pinggir memakai jaket hitam itu, menarik hati Qila. Pertama kali mengenalnya ia tipe lelaki yang pendiam, namun pintar. Itu lah Raka, pujaan hati Qila. Hampir 6 bulan sudah gadis ini menyukai Raka, tapi di matanya Raka masih abu-abu. Raka pernah berjanji jikalau kuliah nanti, Raka bersedia menjadi pacar Qila. Tapi sepertinya itu hanya janji palsu yang Raka buat. Ia terlanjur membatalkannya.
“Lo jangan terlalu ngejar Raka, La. Lo tuh cewek! Cewek tuh harus jual mahal depan cowok. Harga diri lo mau ditaro dimana? Coba deh gak sms dia beberapa hari, kalau emang dia serius suka sama lo pasti dia bakal sms duluan. La.” Saran Reni tegas.
Qila menyadari hal yang dilakukannya ini bodoh, bodoh sekali. Ia benar-benar malu dengan sikapnya itu. Tapi disisi lain ia ingin mengatakan ini pada Reni,
“Raka gak ngerti soal ini, apa dia bakal sms gue duluan? Dia kan gak ada pengalaman buat deketin cewek, Ren.” Tapi ya sudahlah, Qila tidak mau memperburuk keadaan, ia memilih diam.
Hari pertama Qila tidak menghubungi Raka. Tangannya terasa gatal ingin sms Raka, tapi ia ingat pesan Reni. Ia pun mengurungkan niatnya sms Raka.
Biasanya waktu malam tepatnya jam 9, Qila dan Raka sms-an. Tapi tidak untuk hari ini. Ia pun mengalihkannya pada laptop. Ia bermaksud menulis cerpen tak lama tampilan laptop berubah jadi foto Qila bersama Raka.
“Ini kan foto waktu Raka ulangtahun.” Qila memandangi foto itu terus.
Ia merasa benar-benar rindu. Ia mengambil hp-nya langsung sms Raka. untungnya Raka membalas dan membuat gadis manis ini senang.
Jumat. Hari yang Qila tunggu-tunggu tiba. Qila bisa bertemu dengan Raka di tempat les. Ia sengaja datang ke tempat les lebih awal agar bisa melihat Raka lebih lama. Setengah jam sebelum bel istirahat Raka belum datang, ia pun sms Raka.
“Rak les gak?” Pesan singkat yang Qila kirim.
“Gak, La. Hari ini gue capek banget, banyak tugas yang harus gue kerjain hehe.”
Kecewa kali ini ia tidak bertemu Raka. Qila sedang asyik sms-an dengan Raka tiba-tiba Joger bertanya pada Qila,
“La, Raka mana?” Tanyanya. “Kok gak masuk?”
“Katanya mau ngerjain tugas, Ger.” Jawab Qila singkat.
“Lo sama Raka tuh kayaknya cinta bertepuk sebelah tangan ya? Raka keliatannya masih biasa aja ke lo.” Joger menertawakan Qila depan teman kelasnya.
“Enak aja, Raka udah bilang suka ke gue tau!” Qila mencari sms pernyataan Raka yang menyatakan Raka suka padanya dan menunjukannya sms-nya pada Joger.
“Ini cuma sms, belum tentu dia beneran suka sama lo kan?” Joger menjatuhkan steatment Qila. “Bisa aja dia bohong tuh.”
Saat itu Qila benar-benar dipermalukan depan teman kelasnya, seakan tidak punya harga diri. Ia diam, ia terus didera rasa malu. Ia membuat pondasi dalam hatinya agar tidak menangis. Kuat! Satu kata yang ada dalam hati kecilnya.
Mulai saat itu, Qila benar-benar trauma. Ia menjauh dari Raka. Saat Qila menjauh pun Raka seperti tidak merasa kehilangan. Ini membuat Qila membenci Raka.
Waktu terus berjalan, Qila tak henti mengucap syukur saat tahu ia lulus Ujian Nasional dengan nilai yang sangat memuaskan. Tak hanya itu, ia juga lulus di Universitas Negeri di Bandung lewat jalur snmptn undangan.
“Sekarang gue udah kuliah, harusnya gue bisa jadian ya sama Raka. Tapi….” Pikiran dalam benak Qila mengingat kembali soal Raka.
Ia coba mengubur masa lalunya itu.
“Kak, aku gak habis pikir, kenapa Raka ngebatalin janji kuliah itu? Apa dia mau ngejauh dari aku ya?” Qila mencoba sharring dengan kakaknya.
“Aku lihat dia anaknya serius, La. Dia batalin janji itu bukan mau ngejauh dari kamu, tapi karena dia gak mau lihat kamu ngarep berlebihan ke dia. Lagi pula dia gak mau ngekang kamu, dengan janji itu. Kamu ngerti yang kakak maksud kan, La?”
Percakapan Qila dan Kak Ikhsan sedang seru membahas Raka. Tiba-tiba hp Qila berbunyi tanda panggilan masuk.
“Dimana, La? Boleh gue jemput ya?” Tanya Alfon, sahabat Qila yang sekaligus teman satu sekolah dengan Raka.
“Di rumah, Fon.”
Suara motor Alfon terdengar dari luar. Kak Ikhsan keluar mengantar adiknya itu menemui Alfon.
“Terima bunganya ini.” Alfon menyerahkan sebucket bunga mawar itu pada Qila.
“Makasi ya, Fon- bunganya cantik, secantik gue.” Tertawa terbahak-bahak di hadapan Alfon.
“Ini bunga dari Raka.” Terlontar dari mulut Alfon.
Mendengar nama itu. Qila benar-benar ingat akan masa ia mengejar Raka, Raka Darma Pratama, orang yang Qila suka dan sekarang ia datang kembali, membawakannya bunga. Ada apa ini? Hati dan pikirannya tak tenang.
“Dia mau ketemu sama lo, katanya ada yang mau diomongin, La.” Ucap Alfon.
Alfon mengajak Qila ke cafe didaerah Pajajaran. Qila mencari ke seluruh bagian cafe itu, tapi tidak melihat Raka. Tak lama Raka datang berdiri di sebelah Alfon.
Qila terdiam. Kali ini Raka yang memulai pembicaraan,
“La maaf soal pembatalan janji kuliah itu.”
“Gak apa-apa, Rak. Udah gue lupain kok.” Jawab Qila sembari duduk dan melihat daftar menu cafe itu.
“Gue sayang sama lo, Qila Putri Hamdiana.” Ucapnya serius menatap wajah Qila. “Gue bisa jelasin soal pembatalan janji kuliah itu.”
“Baru bisa sayang sekarang? Dulu kemana aja, Rak?” Qila mulai menitikan air mata.
“Gue belum pernah ngerasain pacaran seumur hidup, waktu lo bilang suka sama gue, gue beneran suka sama lo. Tapi saat itu, gue belum berani sayang sama lo. Gue takut. Kalaupun pas sma kita udah komitmen pacaran, gue belum bisa bahagiain lo. Gua cuma mau jadi orang yang bisa banggain orangtua dan bisa jadi panutan buat adik gue, gue relain gak mengenal soal cinta demi orangtua dan adik gue, La.”
“Gue cuma mau kejelasan dari lo, Rak. Gue cewek, gak mungkin kan gue ngejar lo terus. Gue dipermaluin depan temen-temen di tempat les, apa lo tau? Enggak kan? Lo tuh abu-abu di mata gue.”
“Mulai sekarang gue gak akan jadi abu-abu lagi, La. Gue serius mau ngejalanin hubungan sama lo.” Raka menggenggam tangan Qila. “Sekarang, gue tepatin janji itu, La. Itu janji yang kita buat kan? Please, La. Kasih gue kesempatan
Qila mengangguk. Ia tak bisa membohongi perasaannya. Ia masih menyimpan rasa pada Raka. Sekarang, Raka benar-benar menjaga Qila dan tak mudah untuk melepaskan gadis manis macam Qila.